Monday, March 10, 2014

KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga)

KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga)



Fenomena Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah fenomena universal yang dapat terjadi tanpa memandang usia, profesi, tingkat ekonomi maupun pendidikan dari individu yang mengalaminya . Beberapa publik figur di bidang hiburan Indonesia yang juga diketahui mengalami KDRT, sebut saja Imaniar oleh suaminya Max Don, Maia Estianti, dan Five-V . Selain publik figur, KDRT seringkali menimpa perempuan-perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, seperti kasus Ibu Lisa berikut ini:
“Siti Nurjazilah atau lebih dikenal dengan nama Lisa, terpaksa harus menjalani hari-harinya dengan mengurung diri di rumah. Wajahnya rusak karena disiram oleh air keras oleh suaminya sendiri. Suaminya yang sangat pencemburu melakukan penyiraman agar Lisa yang berwajah cantik tidak mungkin lagi berhubungan dengan laki-laki lain. Setelah disiram air keras pun, Lisa tidak diijinkan untuk keluar rumah. Hal ini disebabkan karena suaminya takut tindakannya terhadap Lisa diketahui oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya” (Gema Pria BKKBN, 10 Oktober 2006).
Sumber: Gema Pria BKKBN-www.bkkbn.go.id
Fenomena KDRT seringkali diselesaikan dengan berbagai cara, seperti contoh kasus diatas dimana kasus KDRT ‘selesai’ dengan cara membuat korban mengalami cacat permanen di tubuhnya. Terdapat banyak kasus KDRT pula yang diselesaikan dengan jalan lainnya, misalnya saja perceraian. Fenomena KDRT dalam kasus perceraian artis bisa jadi hanya sebagian kecil contoh dari banyak kasus KDRT yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan hasil pemantauan di 43 Pengadilan Agama (PA) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat banyak kasus perceraian yang didasari oleh berbagai bentuk KDRT (Hukumonline, 4 Juli 2008).
Banyaknya kasus KDRT yang terjadi di Indonesia merupakan cerminan gagalnya sebuah keluarga membangun dan membina sebuah kondisi rumah tangga yang kondusif dan nyaman bagi setiap anggota keluarga yang berlindung didalamnya . Istilah “keluarga” mengacu pada rasa aman dan dilindungi, kondisi yang bersifat pribadi dan sebagai tempat berteduh dari tekanan-tekanan dan kesulitan di luar rumah. Keluarga juga berarti tempat dimana anggota keluarga bisa merasakan eksistensinya dalam keadaan damai, aman dan tentram. Namun ironisnya, keluarga bisa berpotensi sebagai “pusat terjadinya kekerasan” dimana anggota keluarga bisa menjadi sasaran kekerasan. Contoh kasus yang dipaparkan diatas mencerminkan bahwa keluarga bisa sangat berpotensi sebagai pusat terjadinya kekerasan.
KDRT dapat berbentuk beberapa tindakan kekerasan, diantaranya kekerasan fisik, kekerasan emosional, maupun penelantaran ekonomi Kekerasan fisik yang dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Misalnya saja bentuk kekerasan yang menggunakan tangan kosong, seperti menyiram dengan air panas, menjambak rambut, mendorong, meludahi dan menampar. Sedangkan kekerasan psikis merupakan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan jenis ini dapat berbentuk hinaan atau kata-kata kotor yang merendahkan diri perempuan, seperti “kamu tidak berguna” atau “kamu tidak menarik”. Luka terdalam sebagai dampak kekerasan psikis yang dialami individu dapat juga menimbulkan trauma berkepanjangan. Selain itu, korban kekerasan bisa juga jadi pelaku kekerasan di masa mendatang!” .
Bentuk kekerasan lainnya adalah kekerasan seksual dan kekerasan dengan bentuk penelantaran rumah tangga. Kekerasan seksual dapat berbentuk pemaksaan hubungan seksual. Walaupun sulit dibuktikan, bentuk kekerasan ini juga sering dialami oleh perempuan, misalnya memaksakan berhubungan seks walaupun istri sedang tidak sehat atau tidak mau, atau melakukan perilaku seks menyimpang dengan istri. Penelantaran rumah tangga berarti ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Scanzoni, 1988). Sebagaimana yang telah digambarkan diatas, kaum yang sering menjadi korban kekerasan adalah perempuan.
Seperti yang tergambar pada data kasus kekerasan yang ditangani oleh Jaringan Relawan Independen (JaRI) periode April 2002-Juni 2007, bahwa 92 % dari 263 kasus kekerasan yang masuk, korbannya adalah perempuan. Walaupun angka kejadian KDRT di Indonesia sulit diperoleh secara pasti, angka-angka berikut ini dapat dijadikan gambaran tentang tingkat kejadian kasus KDRT di Indonesia. Sebuah artikel dalam harian Pikiran Rakyat (6 Desember 2007) menyebutkan, bahwa 173 kasus dari 263 kasus kekerasan yang ditangani oleh Jaringan Relawan Independen (JaRI) periode April 2002-Juni 2007, adalah kasus KDRT. Selain itu, 83 kasus dari 140 kasus kekerasan yang ditangani oleh LBH APIK dalam empat bulan awal 2007 pun merupakan kasus KDRT. Selanjutnya data Komnas Perempuan pun menunjukkan bahwa 82 % dari 20.391 kasus kekerasan yang ditanganinya juga merupakan kasus KDRT. Data-data yang dipaparkan diatas hanyalah sebagian kecil dari fenomena KDRT yang sesungguhnya, karena fenomena ini merupakan fenomena “gunung es”. Jumlah nominal kasus KDRT yang terjadi sebenarnya adalah jauh dari angka-angka kejadian yang diperoleh berdasarkan laporan ataupun pengaduan. Laporan dari beberapa LSM pun menggambarkan adanya kenaikan jumlah kasus KDRT dari tahun ke tahun.
Kekerasan jenis ini sangat sulit diungkap karena pertama, KDRT oleh sebagian besar orang akan dianggap sebagai hal yang lumrah atau biasa-biasa saja. Kedua, perempuan korban kekerasan menganggap orang lain tidak akan menganggap penting persoalan ini. Perempuan cenderung memilih diam dan memendam sendiri masalahnya karena ia takut apabila ia bicara, dan meminta dukungan atau pertolongan ke orang lain ia akan disalahkan lagi. Di samping itu ia juga takut tidak akan mendapatkan dukungan dari keluarga. Tak jarang apabila korban melapor ke polisi kadang-kadang korban memperoleh jawaban bahwa masalah keluarga harus diselesaikan sendiri dalam keluarga”.
Proses penilaian, pemaknaan dan pengambilan keputusan individu dalam menghadapi KDRT yang dialaminya tidak terlepas dari proses kognitif individu dalam memandang dirinya sendiri dan lingkungannya. Penilaian kognitif berbentuk persepsi, biasa disebut juga sebagai konsep diri. Penilaian ini ditanamkan pada pola pikir perempuan di Indonesia mengenai ‘kekerasan’ yang terjadi dalam rumah tangga. Sehingga kekerasan-kekerasan tersebut seringkali diartikan sebagai hal yang wajar dan tidak seharusnya diumbar dihadapan publik, karena hal itu dianggap sebagai ‘rahasia dapur sebuah rumah tangga’ .
Banyaknya kasus KDRT yang terjadi pada kehidupan rumah tangga keluarga Indonesia hendaknya mendapat perhatian yang lebih intensif lagi. Sebagaimana telah dituturkan sebelumnya, bahwa faktor budaya seringkali mengharuskan para perempuan korban KDRT menelan pil pahitnya seorang diri, sehingga mereka tidak mampu menghasilkan keputusan yang dapat dinilai membebaskan dirinya dari KDRT yang dialaminya, misalnya perceraian. Dari dua kemungkinan pengambilan keputusan dalam menghadapi KDRT yang dialaminya, yaitu bertahan dalam perkawinannya atau bercerai, dapat dikatakan seorang perempuan lebih memilih untuk bertahan dalam perkawinannya daripada bercerai .
Sejalan dengan berlakunya UU PKDRT, banyak pula korban KDRT yang berani menentukan sikap dan mengambil keputusan untuk bercerai, karena mereka merasa ada jaminan hukum yang akan melindungi diri mereka serta keputusan yang mereka ambil . Bertahan atau tidaknya seorang individu korban KDRT dalam perkawinannya akan sangat tergantung pada bagaimana individu memandang dirinya sendiri, serta bagaimana individu tersebut mengkonsepsikan segala atribut yang melekat dalam dirinya sendiri sebagai suatu keutuhan diri individu . Berdasarkan fenomena yang terjadi dilapangan dan yang telah peneliti paparkan sebelumnya, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai konsep diri para perempuan korban KDRT, terutama para korban tindak KDRT yang memutuskan untuk tetap bertahan dalam perkawinannya. Bagaimana individu memandang dirinya sendiri, lingkungannya serta keputusannya untuk tetap bertahan dalam perkawinannya walaupun mengalami KDRT.

II. SEKILAS TENTANG KDRT

KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Setelah membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan datang.

III. PENYEBAB DAN DAMPAK KDRT

Penyebab umum KDRT :

1. Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.
2. Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
3. Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
4. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi
bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
5. Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
6. Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
7. Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
8. Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
9. Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang
sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.
10. Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat
sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya,
maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang
kekerasan dalam rumah tangga, sehingga data kasus tentang (KDRT) pun, banyak dikesampingkan ataupun dianggap masalah yang sepele. Masyarakat ataupun pihak
yang tekait dengan KDRT, baru benar- benar bertindak jika kasus KDRT sampai
menyebabkan korban baik fisik yang parah dan maupun kematian, itupun jika
diliput oleh media massa. Banyak sekali kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT)
yang tidak tertangani secara langsung dari pihak yang berwajib, bahkan kasus kasus
KDRT yang kecil pun lebih banyak dipandang sebelah mata daripada kasus – kasus
lainnya.
11.Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara laki –laki dan perempuan dimana laki –laki mendominasi perempuan. Dominasi laki – laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan agtresivitas laki – laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anak – anaknya , atau cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).
12. Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui
oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan
dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu
mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk
diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan
dalam kasus KDRT.

Dampak umum KDRT

1. Dampak kekerasan terhadap istri yang bersangkutan itu sendiri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri.
2. Dampak kekerasan terhadap pekerjaan si istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan.
3. Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.

IV. CONTOH KASUS KDRT

Kabar mengejutkan datang dari Egi John Foreisythe, aktor kelahiran 14 Juli 1988 tersebut dikabarkan mengalami KDRT  dari istrinya, Citta Permata, yang kini sudah diceraikannya. KDRT yang terjadi pada 2011 silam ini diungkapkan sendiri oleh ibu Egi, Rina Fauziah, yang tak terima dengan perlakuan Citta terhadap putranya. Menurut Rina, Egi dan Citta memang kerap bertengkar saat masih berumah tangga. Namun lama-kelamaan Egi lebih banyak bersabar dan mengalah setelah dikaruniai seorang anak dari Citta, Jaden Foreisythe. Egi bahkan tak mau melaporkan Citta ke polisi karena selalu teringat dengan Jaden.
“Dulu Egi suka berantem juga (dengan istrinya) tapi pas udah punya anak, udah nggak,” kata Rina. “Dia apa-apa itu inget anak. Pas disiram dan ditusuk itu Egi nggak mau ngelaporin.” Rina lantas menuturkan tentang penganiayaan yang dialami Egi. Menurutnya, Citta sudah pernah menjambak rambut Egi atau menyiramnya dengan minyak panas. “Kalau bertengkar Egi sering dijambak, rambutnya rontok gara-gara keseringan dijambak,” ujarnya. “Sering dijambak, padahal sudah ada kelemahan Egi sama rambutnya karena minyak panas.”
Di mata Rina maupun para tetangga, Egi sebenarnya adalah laki-laki yang baik. Sebaliknya, Citta sendiri sudah dikenal sebagai wanita gaul asal Pamulang. Tak hanya itu, Citta dikenal suka dugem dan ia pun dituding membawa pengaruh buruk bagi Egi.
“Itu (dugem) bawa pengaruh ke Egi. Tadinya Egi nggak mau dugem, tapi diajak terus sama Citta,” kata Rina. Kasus KDRT ini sendiri sudah sampai di pihak berwajib dan sidangnya sudah beberapa kali digelar. Namun sampai sekrang Citta belum pernah memberikan konfirmasi resmi terhadap kasus ini.

No comments:

Post a Comment