B A B I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan sudah
sepatutnya menentukan masa depan suatu negara. Bila visi pendidikan tidak
jelas, yang dipertaruhkan adalah kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Visi
pendidikan harus diterjemahkan ke dalam sistem pendidikan yang memiliki sasaran
jelas, dan tanggap terhadap masalah-masalah bangsa. Karena itu, perubahan dalam
subsistem pendidikan merupakan suatu hal yang sangat wajar, karena kepedulian
untuk menyesuaikan perkembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Sudah seyogyanya sistem pendidikan tidak boleh jalan di tempat, namun setiap
perubahan juga harus disertai dan dilandasi visi yang mantap dalam menjawab
tantangan zaman.
Di Indonesia, berubahnya
subsistem pendidikan (kurikulum, UU) biasanya tidak ditanggapi dengan
antusiasme, namun malah sebaliknya membuat masyarakat ragu apakah penguasa di
Indonesia memiliki visi pendidikan yang jelas atau tidak. Visi pendidikan
diharapkan mampu menentukan tujuan pendidikan yang jelas. Karena, tujuan
pendidikan yang jelas pada gilirannya akan mengarahkan ke pencapaian kompetensi
yang dibutuhkan serta metode pembelajaran yang efektif. Dan pada akhirnya,
kelak pendidikan mampu menjawab tuntutan untuk menyejahterakan masyarakat
dan kemajuan bangsa. Setidaknya ada empat tujuan yang menjadi idealisme
pendidikan, antara lain sebagai berikut:
1. Perolehan pengetahuan dan keterampilan (kompetensi) atau kemampuan menjawab
permintaan pasar.
2. Orientasi humanistik
3. Menjawab tantangan-tantangan sosial, ekonomi, serta masalah keadilan.
4. Kemajuan ilmu itu sendiri.
Dari keempat tujuan
pendidikan di atas, setidaknya poin nomor 2 yang berorientasi pada
tujuan memanusiakan manusia atau humanistis, menjadi poin yang penting dalam
proses pendidikan, dan sudah sepatutnya bahwa pendidikan harus menjunjung
hak-hak peserta didik dalam memperoleh informasi pengetahuan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pendidikan di Indonesia sebelum masa
kemerdekaan?
2. Bagaimanakah pendidikan di Indonesia setelah masa
kemerdekaan?
1.3 Tujuan
· Mengetahui bagaimana pendidikan di
Indonesia sebelum masa kemerdekaan.
· Mengetahui bagaimana pendidikan di
Indonesia setelah masa kemerdekaan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan
yang Berlandaskan Ajaran Keagamaan
a. Pendidikan Hindu-Budha
Ajaran Hindu
dan Budha memberikan corak pada praktik pendidikan di Indonesia pada zaman
kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Kalimantan (Kutai), Pulau Jawa
(Tarumanegara hingga Majapahit), Bali dan Sumatera (Sriwijaya). Prasasti tertua
yang ditemukan di Kutai dan di Tarumanegara merupakan peninggalan agama Hindu.
Pada periode awal berkembangnya agama Hindu-Budha di Indonesia, sistem
pendidikan sepenuhnya bermuatan keagamaan yang dilaksanakan di biara-biara atau
padepokan. Pada perkembangan selanjutnya, muatan pendidikan bukan hanya berupa
ajaran keagamaan, melainkan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang.
Pada masa Hindu-Budha
ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan
pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia
setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang
diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu
kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti,
perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain.
Menjelang periode
akhir, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang bersifat
kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murid
relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual religius. Para
murid disini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan bahwa: (1) Pengelola
pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat
tinggi; (2) Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru
ke guru yang lain; (3) Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar
anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi
belajar ke guru-guru tertentu; (4) Pendidikan kejuruan atau keterampilan
dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya masing-masing.
b. Islam
Pendidikan
berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal Gujarat
India ke Nusantara pada abad ke-13. Kehadiran mereka mula-mula terjalin melalui
kontak teratur dengan para pedagang asal Sumatra dan Jawa. Para saudagar asal
Gujarat yang beragama Islam itu kemudian menjadi penyebar agama Islam di
Indonesia. Ajaran Islam mula-mula berkembang di kawasan pesisir, sementara di
pedalaman agama Hindu masih kuat. Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah
Samudera-Pasai di Aceh, yang didirikan tahun 1297 oleh Sultan Malik Al-Saleh.
Namun diperkirakan pengaruh Islam telah masuk ke Indonesia jauh sebelum berdirinya
Samudera-Pasai. Hal ini terbukti dengan adanya batu nisan di Leran, dekat
Gresik, Jawa timur, yang menyebutkan tentang meninggalnya seorang wanita
bernama Fatimah binti Maimun pada tahun 476 H (1082 M).
Di pulau Jawa dan
Sumatera yang penduduknya lebih dahulu mengadakan kontak dengan pendatang dari
luar Indonesia (terutama dari Cina, India, dan Indonesia), didapati pendidikan
agama Islam dimasa pra-kolonial dalam bentuk pendidikan di surau atau langgar,
pendidikan di pesantren, dan pendidikan di madrasah. Pendidikan agama di
langgar dilaksanakan secara sederhana dengan bimbingan guru ngaji yang
statusnya dibawah kyai. Materi yang diajarkan umumnya membaca Al-quran dan
fikih dasar.
Di pesantren, para
santri tinggal di tempat pemondokan sederhana yang biasanya disebut “pondok”.
Sifat khusus pengajaran di pesantren antara lain :
1. Pelajaran bersifat keagamaan
2. Penghormatan yang tinggi kepada guru
3. Tidak ada gaji atau upah untuk guru karena motivasinya
semata-mata karena Allah
4. Santri datang secara sukarela untuk menuntut ilmu
Selain itu, ada juga
pendidikan di madrasah yang bukan hanya mengajarkan agama, melainkan juga ilmu
pengetahuan seperti astronomi (ilmu falak) dan ilmu pengobatan. Pendidikan
Indonesia baru mengenal sistem berjenjang yang formal sejak masuknya pengaruh
Belanda. Namun hingga datangnya kolonial Belanda dan bahkan hingga
sekarang ketiga corak pendidikan Islam, yaitu pendidikan di langgar, pesantren
dan madrasah tetap bertahan.
c. Katholik
dan Kristen-Protestan
Pendidikan katholik
berkembang mulai abad ke-16 melalui orang-orang portugis yang menguasai Malaka.
Dalam usahanya mencari rempah-rempah untuk dijual di Eropa (yang saat itu
harganya sangat mahal), mereka selalu disertai misionaris Katolik-Roma yang
berperan ganda sebagai penasehat spiritual dalam perjalanan yang jauh dan
penyebar agama di tanah yang di datanginya. Misi mereka yang dikenal sebagai
misi suci (mission sacre) dilaksanakan bersama misi pencarian
rempah-rempah. Segera setelah mereka menduduki suatu daerah atau pulau,
usaha pertama yang dilakukannya adalah menjadikan penduduk setempat
sebagai pemeluk Katolik-Roma. Kemudian di tempat itu didirikan seminar-seminar
untuk mendidik anak-anak setempat. Namun kekuasan Portugis tidak berlangsung
lama, hanya sekitar setengah abad, karena diusir oleh Spanyol. Kemudian Belanda
menyebarkan agama Kristen-Protestan dan mengembangkan sistem pendidikannya
sendiri yang bercorak Kristen-Protestan.
2.2 Pendidikan
yang Berlandaskan Kepentingan Penjajah
Indonesia pernah
mengalami masa penjajahan, baik yang pada masa penjajan Belanda maupun masa
penjajahan Jepang. Sehingga, tidak mengherankan apabila pengaruhnya sangat kuat dalam segala
bidang, baik di bidang politik, ekonomi, maupun militer.
Secara garis besar,
sejarah pendidikan di Indonesia terbagi atas sistem pendidikan masa pra
kemerdekaan, masa kemerdekaan, dan masa pemerintahan Republik Indonesia.
a. Pendidikan
Pada Zaman VOC
Sabagaimana Bangsa
Portugis sebelumnya, kedatangan Bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-16
mula-mula untuk tujuan dagang dengan mencari rempah-rempah denga mendirikan
VOC. Misi dagang tersebut kemudian diikuti dengan misi penyebaran agama yang
terutama dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang dilengkapi dengan
asrama untuk para siswa. Di sana diajarkan agama Kristen-Protestan dengan
bahasa pengantar Bahasa Belanda dan sebagian menggunakan Bahasa Melayu. Dirikan
sekolah-sekolah yang di arahkan untuk kepentingan mendukung misi VOC di
Nusantara.
b. Kolonial
Belanda
Pudarnya VOC pada
akhir abad ke-18 menandai masa datangnya zaman kolonial Belanda. Tugas
untuk mengatur pemerintahan dan masyarakat yang sebelumnya ditangani oleh
kompeni (institusi dagang) kemudian diambil alih oleh Pemerintah Belanda yang
menjadikan Hindia-Belanda sebagai tanah jajahan. Meskipun tetap berpihak pada
kepentingan Belanda, system pendidikan pun berubah menjadi lebih “terbuka”.
Muatan keagamaan yang di masa-masa sebelumnya sangat kental, diimbangi dengan
muatan pengetahuan dan keterampilan yang mendukung kepentingan Belanda.
Mulai akhir abad ke-19
dan hingga darsawarsa awal abad ke-20, lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia
sangat beragam, meliputi sekolah dasar, sekolah raja, sekolah pertukangan, sekolah
kejuruan, sekolah-sekolah khusus untuk perempuan Eropa dan pribumi, sekolah
dokter, perguruan tinggi hukum, dan perguruan tinggi teknik. Untuk
mengimbangi pendidikan Belanda, pada periode ini berdiri pula lembaga-lembaga
pendidikan bercorak keagamaan dan kebangsaan oleh Muhammadyah, Taman Siswa, Ins
Kayutanan, Ma’arif, dan perguruan Islam lainnya.
Pada masa ini,
pendidikan terbagi menjadi dua, yaitu: pendidikan rendah, pendidikan
menengah, pendidikan kejuruan, dan pendidikan tinggi. Tujuan pendidikan
pada masa penjajahan Belanda lebih dititikberatkan kepada memenuhi kebutuhan
pemerintah Belanda, yaitu tersedianya tenaga kerja murah untuk hegemoni
penjajah dan untuk menyebarluaskan kebudayaan Barat.
c. Jepang
Pada tahun 1942-1945,
masa pendudukan Jepang memberikan corak yang berarti pendidikan di Indonesia.
Tidak lama setelah berkuasa, Jepang segera menghapus sistem pendidikan warisan
Belanda yang didasarkan atas penggolongan menurut bangsa dan status
sosial. Tanpa membedakan status social mulai di buka tingkat sekolah terendah
adalah Sekolah Rakyat (SR), Sekolah Menengah Pertama (SPM) selama tiga tahun, Sekolah
Menengah Tinggi (SMT) selama tiga tahun. Sekolah dikejuruan juga di
kembangkan, yaitu Sekolah Pertukangan, Sekolah Teknik Menengah, Sekolah
Pelayaran, Sekolah Pelayaran dan Sekolah Pelayaran Tinggi. Ditingkatkan pendidikan tinggi, pemerintah pendudukan Jepang
mendirikan Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta dan
Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Perubahan lain yang berarti bagi Indonesia dikemudian hari ialah
bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar pertama di sekolah-sekolah dan
kantor-kantor pemerintahan, dan bahasa pengantar kedua adalah Jepang. Sejak
saat itu, bahasa Indonesia berkembang pesat sebagai bahasa pengantar dan bahasa
komunikasi ilmiah. Tujuan pendidikan pada zaman Jepang diarahkan untuk
mendukung pendudukan Jepang dengan menyediakan tenaga kerja kasar secara
Cuma-Cuma yang dikenal dengan romusha. Di sekolah, para
siswa mengikuti latihan fisik, baris berbaris meniru tentara Dai Nippon,
latihan kemiliteran disertai indoktrinasi yang intinya kesetiaan penuh pada
Kaisar Jepang. Pemuda-pemuda yang menapak dewasa dijadikan romusha dan sebagian
direkrut untuk menjadi tentara.Tujuan pendidikan lebih ditekankan kepada
dihasilkannya tenaga buruh kasar secara cuma-cuma dan prajurit-prajurit untuk
keperluan peperangan Jepang.
2.3 Pendidikan dalam
Rangka Perjuangan Indonesia
Pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan ditandai oleh munculnya
gerakan pendidikan yang dipelopori oleh Muhammadiyah, Perguruan Taman Siswa,
INS Kayutanam, Pendidikan Ma’arif dan perguruan ialam lainnya.
a. Muhammadiyah
Muhammadiyah lahir dibawah
pengaruh kebangkitan nasionalisme Bangsa Mula-mula misi utama Muhammadiyah
adalah untuk menyebarkan agama, kemudian membuka dan menyelenggarakan
pendidikan, baik sebagai sarana untuk anak mencerdaskan bangsa yang dibodohi
oleh pemerintah Belanda maupun sebagai sarana menyebarkan syiar Islam.
Muhammadiyah didirikan
di kampong Kauman, Yogyakarta, pada tahun 18 November 1912. Sekolah
Muhammadiyah pertama didirikan pada tahun 1911. Dalam perkembangannya kemudian,
sekolah ini menjadi Volksschool (Sekolah Rakyat) 3 tahun.
Muhammadiyah juga kemudian mendirikan sekolah rakyat 3 tahun yang diberi nama
Sekolah Kesultanan(Sultanaatschool), menyusul kemudian HIS Muhammadiyah,
sekolah menengah yang dimulai dengan sebuah MULO yang diberi subsidi oleh
pemerintah Belanda, juga sebuah Algemene Middelbare School (AMS)
yang mendapat bantuan dari para intelektual Indonesia yang beraliran nasional
dan Holland Inlandse Kweekschool. Kurikulum sekolah-sekolah
Muhammadiyah di masa itu menyeimbangkan muatan pelajaran agama dan umum dengan
porsi masing-masing sekitar 50%.
Dalam alam
kemerdekaan, usaha-usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan ini semakin meluas
dan meningkat, mulai tingkat taman kanak-kanak hingga tingkat perguruan tinggi.
Cabang-cabang Muhammadiyah tumbuh diman-mana di seluruh Indonesia. Selain dalam
bidang pendidikan, Muhammadiyah juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial.
b. Taman siswa
Taman Siswa secara
jelas menunjukkan sifatnya yang nasionalis dan pedagogis serta kultural.
Walaupun bukan suatu organisasi politik, Taman Siswa sejak pendiriannya
mempunyai tujuan politik, yaitu kemerdekaan Indonesia. Tujuan ini jelas dari
pertimbangan Ki Hajar Dewantara, pendirinya, sewaktu di pengasingan di negeri
belanda untuk mendalami masalah pendidikan. Menurut Ki Hajar, rakyat Indonesia
harus benar-benar memahami arti kehidupan berbangsa dan bertanah air melalui
pendidikan. Kegiatan pendidikan diberikan kepada mereka yang berusia muda
dengan mendirikan Kindertuin atau Taman Kanak-kanak yang
dikalangan Taman Siswa disebut Taman Indriya, pada tanggal 3 Juli 1922. Lembaga
pendidikan Taman Siswa diberi nama National Onderwijs Institut Taman
Siswadengan Taman Indriya sebagai tingkat terendah. Taman Siswa didasarkan
atas kebangsaan dan kebudayaan Indonesia.
Pendidikan Taman Siswa
selanjutnya mengakui hak-hak anak untuk bebas yang dinyatakan tanpa batas.
Batas itu antara lain adalah lingkungan dan kebudayaan. Pengakuan atas
kebebasan anak adalah suatu prinsip pendidikan yang sangat pokok pada Taman
Siswa. Prinsip demokrasi dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan pengertian
sebagai berikut :
1. Anak dalam pendidikan merupakan pusat
perhatian pendidik.
2. Musyawarah sebagai prinsip demokrasi
tetapi menghargai pemimpin.
3. Dasar demokrasi membawa kewajiban untuk
memikul tanggung jawab.
Dengan gambaran
diatas, maka Taman Siswa, terutama dibidang pendidikan dan kebudayaan, telah
memberi andil yang sangat besar terhadap pendidikan nasional. BahkanUndang-Undang
Pendidikan No. 4 tahun 1950 praktis telah mencakup semua prinsip Taman Siswa.
c. INS
Kayutanam
Sekolah ini didirikan
sebagai tanggapan terhadap pendidikan Belanda yang berlangsung saat itu oleh
Muhammad Syafi’ei dinilai intelektualistik dengan mementingkan kecerdasan dan
kurang memperhatikan bakat-bakat anak. Melalui INS yang didirikannya ia
berusaha agar para siswa tidak menjadi cendekiawan setengah matang yang
angkuh tetapi menjadi pekerja cekatan yang rendah hati. Di INS, para
siswa dididik untuk bekerja teratur dan produktif agar dapat hidup mandiri.
Para siswa mendapat pelajaran dalam berbagai bidang Di INS sebagai wahana untuk
membuat anak-anak sehat dan kuat
Falsafah yang
mendasari gagasannya adalah “Tuhan tidak sia-sia menjadikan manusia dan alam
lainnya. Masing –masing mesti berguna dan kalau tidak berguna itu disebabkan
kita tidak pandai menggunakannya” (dikutip dari Republik Indonesia Propinsi
Sumatera Tengah, penerbitan Kementerian Penerangan, hlm.778). INS kayutaman mengembangkan
sistem persekolahannya dengan didasarkan atas “aktivitas” dan bertujuan untuk
“melahirkan dan memupuk semangat bekerja dan percaya kepada diri sendiri”.
Disamping dikembangkan
atas dasar-dasar prinsip pedagogis, INS juga memupuk semangat nasionalisme di
kalangan para siswanya. Hal ini tampak dari tujuan pendidikannya, yaitu agar
siswa dapat berdiri sendiri dan tidak perlu mencari jabatan di kantor
pemerintahan yang pada ssat itu dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Prinsip tidak
menggantungkan diri kepada orang lain juga dianut oleh Muhammad Syafi’ei
sendiri yang menolak tawaran Pemerintah Belanda untuk menerima bantuan.
Pengembangan lembaga pendidikannya diusahakan atas dasar prinsip “self-help”
(mandiri) dengan mengumpulkan uang melalui pertunjukan, pameran hasil karya
murid-murid, dan penjualan hasil kerja mereka. Hanya pemberian yang tidak
mengikat secara moral yang diterimanya.
Meskipun praktik dan
gagasan pendidikannya bagus, sistem persekolahan yang dikembangkan INS
Kayutanam tidak berkembang diluar daerahnya. Para lulusan yang dihasilkannya
juga tidak cukup mendapat bekal untuk mendapatkan tempat dimaysarakat sehingga
dapat dikatakan keuntungan pendidikan hanya dirasakan oleh perorangan siswa.
INS Kayutanam bertahan
hingga masa pendudukan Jepang, dan pada masa perang kemerdekaan (tahun 1949)
INS Kayutanam ditutup. MuhammadSyafei sendiri setelah tidak menangani INS,
ditunjuk sebagai Kepala Sekolah Guru Bantu (SGB). Ia tutup usia pada tahun
1966.
d. Pendidikan Ma’arif
Awal pendidikan
ma’arif mulai berkembang pada tahun 1916 ketika K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan
K.H. Mas Mansur, mendirikan kursus debat yang diberi namaTaswirul Afkar.
Kursus ini kemuadian berkembang dengan dibentuknya Jam’iyah Nahdatul Wathon
yang bertujuan memperluas dan meningkatkan mutu pendidikan madrasah. Lembaga
pendidikan ma’arif dalam bentuk madrasah mula-mula berkembang di Jawa Timur,
kemudian menyebar ke daerah-daerah lainnya, dengan dipelopori oleh para ulama
NU. Mula-mula, corak pendidikannya menyerupai “pesantren yang diformalkan”,
dengan hanya memuat pendidikan agama dalam kurikulumnya. Dalam perkembangan
kemudian, sebagaimana Muhammadiyah, Ma’arif memasukkan materi umum ke dalam
kurikulumnya.
Muktamar II NU di
Surabaya pada tahun 1927 memutuskan untuk memberikan perhatian yang penuh pada
pengembangan madrasah dengan dana ditanggung oleh umat Islam, dan menolak
bantuan Belanda. Dalam Muktamar NU ke-4 di Semarang, Muktamar NU yang
dilaksanakan setiap tahun selalu memberikan perhatian khusus pada pengembangan
pendidikan Ma’arif. Basis pendidikan ma’arif pada dasarnya adalah
pesantren yang juga merupakan basis utama kegiatan pendidikan NU. hal inilah
antara lain yang membedakannya dengan Muhammadiyah yang lebih agresif dan
sistematis dalam mengembangkan system pendidikan sekolahnya dengan menerapkan
menejemen modern.
2.4 Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan
· Tujuan dan Kurikulum
Pendidikan di Indonesia
Dalam kurun waktu
1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami 5 kali perubahan,
mengikuti perubahan dalam suasana kehidupan berbangsa kita. Sebagaimana
tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
(PP & K), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1946 , tujuan pendidikan nasional
pada masa awal kemerdekaan sangat menekankan penanaman jiwa
patriotisme.hal ini dapat dipahami, maka penanaman jiwa patriotism melalui
pendidikan dianggap merupakan jawaban guna mempertahankan Negara yang baru
diproklamasikan.Antisipasi tersebut kemudian terbukti benar dengan terjadinya
agresi Balanda terhadap Negara berdaulat Republik Indonesia.
Sejalan dengan
perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia
pun mengalami perluasan, tidak lagi semata-mata menekankan jiwa patriotisme.
Dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah, Sehingga pendidikan dan pengajaran berdasar asas-asas yang termaktub
dalam pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan asas
kebudayaan bangsa Indonesia. Rumusan tujuan yang sama diulang lagi dalam
Undang-Undang No. 12/1954 yang berlaku untuk seluruh wilayah RI.
Perubahan tujuan
pendidikan nasional tersebut berimplikasi pada perubahan kurikulum yang saat
itu disebut rencana pelajaran. Kurikulum yang semula berorientasi
pada kepentingan colonial Belanda diubah sesuai dengan kebutuhan bangsa
Indonesia yang telah merdeka. Kurikulum sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan
dan tahun 1950-an ditujukan untuk :
1. Meningkatkan kesadaran bernegara dan
bermasyarakat,
2. Meningkatkan pendidikan jasmani,
3. Meningkatkan pendidikan watak,
4. Memberikan perhatian pada kesenian,
5. Menghubungkan isi pelajaran dengan
kehidupan sehari-hari, dan
6. Mengurangi pendidikan pikiran.
Butir 6) pada dasarnya
merupakan reaksi terhadap pendidikan kolonial yang amat menekankan aspek
intelektualitas dan mengabaikan pendidikan watak.
Dibawah pengaruh
Manipol-Usdek, pada tahun 1965 rumusan tujuan pendidikan nasional mengalami
perubahan. Dalam keputusan Presiden No.145 tahun 1965 tentang nama dan Rumusan
Induk Sistem Pendidikan Nasional dikemukakan rumusan tujuan pendidikan nasional
kemudian diperluas dan dipertajam dalam GBHN 1973
Rumusan yang tertuang
dalam GBHN 1973 substansinya terus dipertahankan dengan hanya mengalami sedikit
perubahan – yaitu berupa penambahan sifat manusia Indonesia yang hendak
dibangun melalui pendidikan – hingga GBHN 1998. Dengan substansi yang sama
meskipun rumusannya agak berbeda, tujuan tersebut juga tertuang dalam UU No. 2
/1989 tentang system pendidikan nasional.
· Sistem Persekolahan
Sistem persekolahan
yang berlaku di Indonesia pada masa awal kemerdekaan meliputi 3 tingkatan,
yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Sistem persekolahan
tersebut terus dipertahankan hingga tahun 1980-an. Akhir tahun 1960-an,
kalaupun terjadi perubahan, hal itu lebih pada bentuk kelembagaannya. Misalnya
dihapuskannya SGB, diubahnya SGA menjadi SPG, dan lebih dikembangkannya
jenis-jenis sekolah menengah kejuruan. Setelah berlakunya UU No 2/1989 tentang
system pendidikan nasional diadakan perubahan, antara lain bahwa Pendidikan
Dasar merupakan pendidikan umum yang lamanya 6 tahun di SD dan 3 tahun di SLTP.
Jadi SLTP merupakan pendidikan umum, sehingga akibatnya sekolah pertama
kejuruan dilebur menjadi SLTP.
Perkembangan lain yang
penting dicatat pada era 1945-1969 ialah berdirinya 42 Perguruan Tinggi Negeri
berupa universitas, institute, dan sekolah tinggi yang umumnya terletak di
ibukota propinsi, sehingga kurun waktu tersebut dapat dikatakan sebagai “era
pertumbuhan PTN”.
· Perkembangan Jumlah
Siswa
Berbeda dengan pada
zaman kolonial Belanda yang membedakan kesempatan belajar atas dasar ras dan
asal-usul keturunan, pada zaman kemerdekaan kesempatan belajar dibuka untuk
semua orang, baik melalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Hal ini sejalan
dengan bunyi pasal 31 ayat 1 UUD 1945 bahwa “tiap-tiap warga Negara
berhak mendapatkan pengajaran”. Dalam UU Pendidikan No. 4/1950 dan UU No.
12/1954, pasal 17, disebutkan bahwa, “tiap-tiap warga Negara republic
Indonesia mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu sekolah
jika memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran
pada sekolah itu”.
Ciri yang menonjol
diawal kemerdekaan ialah tingginya motivasi belajar para siswa yang usianya amat
beragam, meskipun sarana yang tersedia hanya seadanya. pada tanggal 1 Juni 1946
dibentuk Bagian Pendidikan Masyarakat pada Kementerian Pendidikan, Pengajaran,
dan kebudayaan yang bertugas: 1) memberantas buta huruf, 2)
menyelenggarakan kursus pengetahuan umum, dan 3) mengembangkan perpustakaan
rakyat
B A B III
PENUTUP
Kesimpulan : Pendidikan
di Indonesia pada zaman sebelum kemerdekaan digolongkan dalam tiga periode,
yaitu pendidikan yang berlandaskan ajaran keagamaan, pendidikan yang
berlandaskan kepentingan penjajah dan pendidikan dalam rangka perjuangan
kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan,
telah muncul system kurikulum, system persekolahan, dan juga sudah banyak
penduduk Indonesia yang mengenyam bangku sekolah.
Hal ini disebabkan oleh adanya
pendidikan yang telah ada pada zaman-zaman dahulu. Yang memberikan dasar-dasar
tentang pendidikan, selain itu tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam dunia
pendidikan.
Saran : diharapkan agar semua elemen masyarakat indonesia dapat mengetahui lebih
dalam tentang pendidikan terutama sejarah pendidikan di indonesia. Dengan demikian
kita dapat merasakan perjuangan yang dulu telah di perjuangkan dan kita
bisa meningkatkan mutu dari pendidikan
tersebut.
maksih, tugs sya lebih mudah karna materi dri blog ini (y)
ReplyDelete